Beranda | Artikel
Panduan Murabahah yang Sesuai Syariah (Bagian 2 - Selesai)
Senin, 1 Agustus 2016

Solusi Islami untuk Kredit Macet

Majalah Pengusaha Muslim: Edisi 26/April 2012

Tulisan ini mengenai konsep murabahah yang benar-benar sesuai syariah atau menurut fikih Isalam, bukan yang diterapkan oleh perbankan syariah kita.

Oleh Ustad Dr. Erwandi Tarmizi

Kita akan melanjutkan tulisan sebelumnya tentang Murabahah Sesuai Syariah, Anda bisa melihat artikel sebelumnya disini: Panduan Murabahah yang Sesuai Syariah (Bagian 1)

Kali ini kita akan mengulas solusi Islami untuk kredit macet. Simak:

1. Anjuran tidak meremehkan utang. Edukasi, itulah kata kuncinya. Setiap muslim diimbau tidak menganggap remeh utang. Setiap muslim diimbau untuk memperkirakan kemampuan finansialnya ketika hendak membeli produk tertentu. Bila persyaratan tidak terpenuhi, dia termasuk orang berutang, sementara tidak ada keinginan melunasi utangnya. Orang ini terkena ancaman Allah yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Siapa yang berutang dan dia bertekad untuk membayarnya niscaya Allah akan memudahkannya untuk melunasi utangnya. Dan siapa yang berutang tidak bertekad untuk membayar utangnya niscaya Allah akan membinasakannya.” (HR. Bukhari)

Ibnu Hajar Al Haitamy dalam bukunya Az-Zawajir mengategorikan perbuatan itu termasuk salah satu dosa besar. Ia berkata, “Dosa besar ke-205: berutang dengan niat tidak melunasi utangnya, atau ada niat untuk membayar namun tidak ada harapan, mampu melunasi hutangnya karena saat berutang dia telah memperkirakan tidak ada harta yang dia miliki yang dapat melunasi utangnya, sementara dia berutang juga bukan untuk keperluan yang bersifat darurat, serta pihak pemberi hutang tidak mengetahui keadaan peminjam”.[1]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengancam orang yang mampu melunasi utangnya dan sudah jatuh tempo, namun sengaja menunda pelunasan dengan berbagai alasan, orang ini pantas diberikan hukuman. Para ulama menjelaskan maksud hukumannya adalah hukuman penjara hingga dia melunasi utangnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penundaan pelunasan utang oleh orang yang mampu merupakan kezaliman, dibolehkan menjatuhkan hukuman (penjara) kepadanya dan dibolehkan mencemarkan nama baiknya (seperti dimasukkan dalam daftar hitam perbankan).” (HR. Bukhari)

2. Harus ada jaminan. Sebagai tindakan pencegahan, pihak pemberi kredit dianjurkan untuk meminta barang jaminan atau orang jaminan. Bila utang terlambat dilunasi, bank bisa menjual barang jaminan atau menagih utang kepada pihak penjamin untuk melunasinya.

Bagaimana jika tidak mampu memberikan barang atau orang sebagai  jaminan?  Solusi yang diterapkan beberapa bank syariah adalah meminta barang yang dijual sebagai barang gadaian, dengan cara surat-surat resmi kepemilikan barang dipegang bank. Hanya saja, pembeli bebas menggunakan barang. Selanjutnya bank syariah membuat perjanjian dengan pembeli bahwa jika dia terlambat membayar angsuran kewajiban, maka seluruh sisa angsuran menjadi tunai dan barang disita oleh bank, karena statusnya sebagai barang gadai. Bank menjual barang itu untuk menutupi sisa seluruh angsuran. Lalu sisa uang penjualan barang setelah pelunasan utang dikembalikan kepada pembeli.

Sebagai ilustrasi, i A membeli motor seharga Rp 10 juta melalui transaksi murabahah dengan bank. Melihat kondisi ekonomi A, bank meminta agar motor digadaikan di bank, sebagai jaminan selama pelunasan angsuran. Bank membawa semua surat penting motor tersebut. Setelah diangsur Rp 5 juta, kredit macet. Bank kemudian menjual motor itu, dan laku Rp 7 juta. Pada kasus ini, bank boleh mengambil Rp 5 juta, dan sisanya, Rp 2 juta diserahkan ke A.

Solusi tersebut dibenarkan dalam Islam dan disetujui oleh Majma’ Al-Fiqh Al-Islami dengan keputusan No. 51 (2/6) tahun 1990, yang menyatakan: “Dibolehkan penjual kredit mensyaratkan jatuh tempo seluruh angsuran sebelum waktunya ketika pembeli terlambat melunasi sebagian angsuran, selama pembeli menyetujui persyaratan ini saat transaksi dilakukan. Penjual boleh mensyaratkan kepada pembeli agar barang yang dibelinya menjadi barang gadai sebagai jaminan agar pembeli tidak terlambat melunasi angsuran. [2]

Demikian juga keputusan No. 64 (2/7) 1992, menyatakan, “Penjual dan pembeli (kredit) boleh membuat kesepakatan bahwa keseluruhan angsuran menjadi jatuh temponya pada saat pembeli enggan memenuhi kewajiban bayar salah satu angsuran. Selama pembeli bukanlah orang yang mu’sir (yaitu: jatuh pailit).” [3]

Hukum menggadaikan barang yang telah dibeli kepada penjual hingga pembayaran lunas merupakan pendapat jumhur para ulama; dari mazhab Abu Hanifah, Malik serta pendapat yang terkuat dari mazhab Syafi’i dan Hanbali serta keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami.

Ibnul Qayyim berkata, “Barang yang telah dijual (tidak tunai), lalu penjual mensyaratkan barang tersebut untuk digadaikan hingga lunas pembayaran barang … dalam hal ini tidak ada larangan yang membatalkan persyaratan ini … para ulama sepakat jika disyaratkan yang menjadi barang gadaian atas utang kredit adalah barang lain hukum persyaratannya boleh … maka begitu juga hukumnya jika disyaratkan sebagai barang gadaian atas utang kredit barang yang dibeli (tidak tunai). [4]

Selain Majma’ Al-Fiqh Al-Islami, AAOIFI juga membolehkan kesepakatan menjual barang objek mubahah yang digadaikan untuk pelunasan kredit macet.  Dalam panduan perbankan syariah internasional dinyatakan, “Boleh membuat persyaratan bahwa seluruh sisa angsuran menjadi tunai apabila kreditur yang mampu, sengaja lambat membayar kewajiban, dan sebaiknya sanksi ini tidak diterapkan sebelum memberikan peringatan tertulis kepada kreditur minimal dua minggu setelah keterlambatan pelunasan kewajiban”[5].

Solusi ini juga pernah diutarakan oleh Ibnu Qayyim. Beliau mengatakan, “Jika penjual kredit khawatir bahwa pembeli tidak memenuhi kewajibannya pada setiap angsuran yang telah disepakati maka solusinya: ia dapat membuat persyaratan bahwa bila jatuh tempo salah satu angsuran dan pembeli tidak melunasinya maka sisa angsuran menjadi tunai, dengan demikian ia dapat menuntut pembeli untuk melunasi seluruh sisa angsuran saat itu juga.”[6]

Dalil solusi ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Orang-orang Islam itu memenuhi perjanjian (persyaratan) yang mereka buat, kecuali perjanjian mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmizi. Hadis ini dishahihkan Al-Albani).

Dalam solusi ini, jika kedua belah pihak telah setuju akan persyaratan ini maka keduanya wajib memenuhi persyaratan yang telah disepakati.

Catatan: Perlu diingat, jika sanksi ini diterapkan, pihak penjual wajib mengurangi nilai harga yang disepakati dari awal, berdasarkan waktu jatuh tempo yang lebih awal, karena harga awal adalah harga yang disepakati sesuai dengan lama waktu angsuran. Sebagaimana kewajiban pembayaran dikurangi karena pembeli membayar lebih awal, yang juga berlaku dalam kasus ini. Bila tidak, penjual telah mengambil harta pembeli tanpa ada imbalan, hal ini termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

Misal, A membeli rumah secara kredit seharga Rp 300 juta dengan masa angsuran 10 tahun. Harga tunai rumah tersebut hanya sekitar Rp 200 juta. Laba per tahun Rp 10 juta. Jika A terlambat melunasi angsuran pada akhir tahun ke-5, pembayaran seluruh sisa angsuran menjadi jatuh tempo saat itu juga. Selanjutnya harga rumah dihitung ulang: Rp 250 juta = Rp 300 juta – Rp 50 juta (laba 5 tahun ke depan yang dibatalkan). Harga rumah yang awalnya Rp 300 juta, ketika jatuh tempo di tengah pelunasan menjadi Rp 250 juta. Karena keuntungan Rp 50 juta yang seharusnya dibayarkan 5 tahun kemudian tidak bisa dibayarkan.

Bila nasabah dari awal telah mengikuti petunjuk Islam. Tetapi, malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih, dia terkena musibah barang yang dia beli secara kredit raib, dan dia tidak mampu melunasi utangnya, maka tidak ada pilihan lain bagi bank selain bersabar hingga nasabah mampu melunasi utangnya. Allah berfirman yang artinya, “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)

Itulah solusi yang diberikan Islam untuk mengatasi kredit macet. Sungguh, solusi yang sangat mulia dan manusiawi. Ini berbeda dengan tindakan zalim bank, yang malah melipat-gandakan nominal utang bagi orang yang sedang kesulitan. Semoga Allah memperbaiki kondisi masyarakat.*** 

Resume:

    1. Islam sangat tidak menganjurkan masyarakat berutang
    2. Berutang hukumnya boleh, dengan 2 syarat:
      • Hanya ketika kondisi darurat, misalnya untuk memenuhi kebutuhan pokok.
      • Memiliki penghasilan tetap, sehingga diprediksi mampu melunasinya.
    3. Jual beli secara kredit, hukumnya dibolehkan menurut pendapat yang kuat. Ini merupakan pendapat Lembaga Fatwa Saudi dan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami
    4. Transaksi kredit tidak sama dengan transaksi riba. Diantara perbedaannya adalah
      • Hakekat riba adalah tambahan dalam utang piutang uang, sedangkan hakekat keuntungan kredit adalah keuntungan dalam jual beli barang, yang itu menjadi hak penjual untuk menentukannya.
      • Bunga utang berasal dari pembiayaan uang, sedangkan keuntungan kredit berasal dari hasil penjualan barang.
      • Dalam akad riba, tidak ada perputaran uang. Dalam transaksi kredit, uang diputar untuk membeli barang, kemudian dijual lagi secara kredit.
    5. Tidak boleh ada murabahah secara kredit untuk emas, perak, dan mata uang asing. Karena transaksi tiga benda ini harus dilakukan secara tunai.
    6. Tahapan akad murabahah ada dua:
      • tahap I: nasabah datang ke bank dan menawarkan diri untuk murabahah
      • tahap II: bank membeli barang ke penjual pertama, sesuai pesanan nasabah
    7. Catatan untuk tahap pertama; nasabah datang ke bank:
      • Tahap ini, akad antara nasabah dengan bank hanya sebatas janji, bukan transaksi jual beli. Konsekuensinya:
        1. Bank tidak boleh mencatat transaksi ini sebagai transaksi jual beli secara mudharabah. Karena berarti bank telah menjual barang yang tidak dia miliki.
        2. Bank tidak boleh meminta uang muka kepada nasabah. Karena janji ini bukan transaksi jual beli.
      • Pada tahap ini, nasabah tidak boleh mendatangi penjual pertama untuk melakukan transaksi jual beli barang. Apalagi dengan memberikan uang muka, kemudian nasabah meminta bank melunasi sisanya. Karena hakekat transaksi semacam ini, nasabah pinjam uang ke bank, sementara dia harus membayar lebih. Dan ini murni riba
      • Barang yang menjadi objek murabah, bukan barang yang dimiliki nasabah. Karena jika ini terjadi maka akad yang dilakukan adalah bai’ ‘inah (jual beli ‘inah) dan itu statusnya haram.
    8. Catatan untuk tahapan kedua; bank membeli barang ke penjual pertama.
      • Bank harus membeli barang itu sendiri, tidak boleh mewakilkan ke nasabah, dan harus atas nama bank. Jika bank hanya menyerahkan cek, kemudian meminta nasabah untuk membeli sendiri barang tersebut maka ini statusnya sama dengan mengakali transaksi riba. Karena hakekatnya bank meminjamkan uang ke nasabah.
      • Bank tidak boleh menjual barang tersebut ke nasabah sebelum sepenuhnya dimiliki bank. Karena itu, harus ada serah terima antara penjual pertama dengan bank. Jika belum ada serah terima, kemudian bank langsung menjual ke nasabah maka bank melanggar larangan hadis menjual barang sebelum diterima.
    9. Pada akad murabahah, hanya boleh menggunakan satu harga dengan jangka waktu yang jelas. Konsekuensinya:
      • Tidak boleh menyebutkan adanya potongan di awal transaksi, untuk pelunasan sebelum jatuh tempo
      • Menyebutkan adanya potongan di awal transaksi, untuk pelunasan sebelum jatuh tempo, melanggar larangan hadis, menjual dengan dua harga
      • Boleh memberikan potongan untuk pelunasan sebelum jatuh tempo, dengan syarat tidak disebutkan di awal akad.
    10. Tidak boleh ada denda untuk penundaan pelunasan, dengan sepakat ulama, meskipun dana ini nantinya disalurkan untuk qardhul hasan.
    11. Solusi untuk kredit macet:
      • Memberi edukasi kepada kaum muslimin agar tidak meremehkan masalah utang.
      • Harus ada jaminan. Jaminan bisa berupa barang, atau orang, atau bahkan barang yang menjadi objek murabahah.
    12. Para ulama membolehkan menggunakan jaminan barang yang menjadi objek transaksi murabahah. Ini merupakan pendapat Imam Ibnul Qoyim, dan menjadi keputusan resmi Majma’ Al-Fiqh Al-Islami, serta AAOIFI, lembaga ekonomi syariah sedunia.
    13. Bentuk menggunakan barang objek transaksi murabahah sebagai jaminan, ilustrasinya seperti berikut: Nasabah membeli rumah melalui transaksi murabahah dengan bank seharga 200 juta. Selanjutnya masing-masing sepakat, rumah ini menjadi jaminan selama pelunasan. Jika nasabah tidak mampu melunasi sebelum jatuh tempo maka cicilan dianggap lunas. Setelah mencicil 150 juta, nasabah tidak mampu melanjutkan pelunasan. Bank menjual rumah itu seharga 210 juta. Selanjutnya, bank mengambil 50 juta dan sisanya (160 juta) dikembalikan ke nasabah.
    14. Jika kenaikan harga barang bersifat linier, sesuai lama jatuh tempo maka ketika barang jaminan hendak dijual, harga beli barang pada bank harus disesuaikan. Dipotong berdasarkan potongan laba untuk bank.
    15. Jika barang yang dijual melalui murabahah hilang atau rusak maka tidak ada pilihan lain bagi bank, selain bersabar memberi kesempatan nasabah untuk melunasi utangnya sampai lunas, tanpa ada paksaan.
    16. Solusi kredit macet dalam islam adalah solusi yang sangat manusiawi, tidak seperti kedzaliman bank yang melipat-gandakan nominal utang, di tengah himpitan kondisi ekonomi nasabah.

Keterangan:

[1]   Az-Zawajir, jilid 1, hal 410.
[2]  Journal Islamic Fiqh Council, vol VI,  jilid I, hal 193.
[3]  Journal Islamic Fiqh Council, vol VII,  jilid II, hal 9.
[4]  I’lamul muwaqqi’in, jilid IV, hal 33.
[5]  Al ma’ayir Asy Syar’iyyah, hal 26.
[6]  I’lamul muwaqqi’in, jilid IV, hal 33.

PengusahaMuslim.com

Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

          • SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
          • DONASI hubungi: 087 882 888 727
          • REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK

Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/5478-panduan-murabahah-yang-sesuai-syariah-bagian-2-selesai.html